Kamis, 01 Oktober 2009

Manajemen Mutu : Antara Continous Improvement dan Standard Operating Procedure (SOP)


Pengantar
Dalam pekerjaan kita sehari-hari sering kita menemui banyak masalah dan kesalahan. Misalnya : komplain dari pelanggan (internal atau eksternal), salah cetak, salah pemeriksaan, salah menyerahkan barang, kehilangan barang dll. Masalah dan kesalahan itu kadang sering terjadi. Tetapi apa yang kita lakukan ? Banyak diantara kita yang diam membiarkan saja tanpa tindakan apapun dengan harapan suatau saat akan selesai dengan sendirinya. Benarkah akahirnya selesai dengan sendirinya ? Mungkin ada yang selesai namun kebanyakan masalah dan kesalahan itu tetap saja terjadi dan kita sudah menjadi terbiasa bekerja dengan masalah dan kesalahan. Lingkungan dan budaya kerja kita menjadi buruk karena sudah akrab dengan lingkungan yang terbiasa dan toleran terhadap masalah dan kesalahan. Apa akibatnya ? Kita bekerja dan berkinerja dibawah standar dan tidak ada kemajuan bahkan terjadi penurunan. Jika hal ini terjadi dalam semua bagian di suatu organisasi maka bersiap-siaplah menuju kehancuran.

Faktor Yang Menghambat Upaya Perbaikan Berkelanjutan
Dalam konsep manajemen mutu, dikenal istilah perbaikan berkelanjutan atau continous improvement. Perbaikan berkelanjutan ini merupakan suatu upaya untuk melakukan perbaikan secara terus menerus agar produk (barang atau jasa) yang kita hasilkan menjadi lebih sempurna sesuai kebutuhan dan keinginan konsumen. Upaya untuk melakukan perbaikan berkelanjutan ini sebenarnya merupakan kunci penting dalam manajemen mutu, namun seringkali terkendala oleh 3 faktor. Faktor yang pertama adalah standar. Seringkali organisasi tidak memiliki standar mutu yang ditetapkan atas hasil kerja karyawan. Misalnya : berapa waktu tunggu seorang klien akan dilayani oleh seorang kasir, berapa angka kesalahan input data yang bisa diterima, berapa angka kerusakan alat yang boleh terjadi selama setahun dst. Tanpa ada standar ini maka sulit untuk menilai, mengukur dan meningkatkan kinerja karyawan/organisasi. Seorang manajer dan bawahan bisa terus berdebat ketika membicarakan kinerja. Seorang atasan bisa menilai buruk pada bawahan tetapi sebaliknya bawahan bisa membela diri bahwa kinerjanya sudah cukup bagus. Perdebatan itu bisa tidak berakhir selama standarnya belum ada dan belum ditetapkan. Standar seperti ini harusnya ditetapkan oleh manajemen dan disampaikan kepada karyawan. Dalam menetapkan standar sebaiknya bisa terukur sebab sesuatu yang tidak bisa diukur biasanya sulit untuk ditingkatkan. Faktor yang kedua adalah budaya. Faktor budaya ini terkait erat dengan kebiasaan dan latar belakang individu baik manajer maupun bawahan. Banyak diantara kita ketika sakit batuk dibiarkan saja toh nanti akan sembuh dengan sendirinya. Hal seperti ini kadang terbawa dalam dunia kerja. Ketika ada masalah atau kesalahan dibiarkan saja tanpa ada usaha untuk memperbaiki dengan alasan toh nanti akan selesai dengan sendirinya. Oleh karena itu jangan heran jika dalam suatu oragnisasi, masalah yang berulang terjadi bertahun-tahun tidak pernah terselesaikan. Makin lama, kita makin akrab dan sudah terbiasa hidup dalam masalah dan kesalahan yang berulang-ulang. Faktor ketiga adalah persepsi yang salah terhadap SOP (standar operating procedure), SOP sering dipahami sebagai prosedur kerja baku yang tidak bisa diubah. Oleh karena itu kita selalu merasa sudah benar jika bekerja sesuai SOP yang berlaku. Apakah pendapat ini salah ? Tergantung...! Pendapat ini benar jika kita sebagai robot tetapi sebagai manusia mestinya kita harus bisa melakukan evaluasi, apakah SOP yang kita gunakan menimbulkan masalah atau tidak.

Memang benar bahwa SOP merupakan standar proses kerja, namun jangan lupa bahwa tidak ada SOP yang sempurna. Dalam banyak kasus SOP kadang menjadi penghambat untuk mencapai mutu yang diharapkan. Jika SOPnya bermasalah dan tidak dilakukan revisi maka akan terjadi permasalahan atau kesalahan yang berulang-ulang.

Mana yang lebih penting Continous Improvement atau SOP ?
Keduanya dibutuhkan dalam pencapaian mutu. Untuk mencapai sasaran/standar mutu yang diharapkan maka perlu dibuat SOP yang tepat. Persoalannya seringkali SOP dibuat dengan cara mencontoh dari tempat yang lain atau dibuat oleh orang yang tidak kompteten membuat SOP sehingga tidak “applicable” dan tidak tepat. Sebenarnya mencontoh tempat lain tidaklah dilarang namun yang harus diperhatikan SOP harus disesuaikan dengan situasi setempat sehingga bisa diterapkan dan efektif untuk mencapai sasaran/standar mutu yang telah ditetapkan. Bagaimana kita tahu SOP yang kita gunakan efektif atau tidak ? Disinilah perlunya dilakukan evaluasi. Evaluasi bisa dilakukan secara periodik bisa juga dilakukan secara insidental khususnya ketika terjadi kesalahan atau kejadian yang tidak diharapkan. Evaluasi harus dilakukan secara menyeluruh termasuk evaluasi terhadap SOP yang saat ini digunakan. Jika ternyata SOPnya yang bermasalah dan tidak efektif untuk mencapai sararan/standar mutu maka perlu dilakukan revisi.

SOP adalah alat untuk mencapai tujuan yaitu sasaran/standar mutu. Sebagai alat, maka SOP harus flexible untuk dirubah jika tidak efektif. Dengan kata lain, demi perbaikan, SOP bisa direvisi atau dirubah sama sekali dengan SOP yang baru. Jadi meskipun continous improvement dan SOP sama-sama penting namun continous improvement harus melandasi semua upaya peningkatan mutu. Demi continous improvent, SOP harus tunduk dan siap direvisi bahkan diganti dengan SOP yang sama sekali baru.

Apakah SOP bisa dirubah setiap saat ? Prinsipnya SOP bisa direvisi setiap saat demi perbaikan bukan direvisi sekedar demi perubahan . Namun yang harus diperhatikan, tidak setiap orang bisa merubah ”semau gue”. Perubahan SOP harus dilakukan melalui prosedur yang benar. Ada proses evaluasi, proses penyusunan konsep perubahan, proses otorisasi (pengesahan) dan proses sosialisasi. Proses-proses tersebut harus dilakukan dengan benar agar efektif dan esisien. Jika prosesnya tidak benar bisa jadi akan timbul kekacauan atau kontra produktif.

Kuncinya, secara teknis bekerjalah sesuai SOP secara konsisten namun jangan bertindak seperti robot, tetaplah kritis terhadap SOP. Tetaplah konsisten dengan semangat untuk melakukan proses perbaikan berkelanjutan tiada henti. Aturan apapun bisa dirubah bahkan bisa ”didobrak” demi perbaikan. Namun jangan lupa alasannya harus rasional dan proses merubahnya harus dilakukan dengan cara yang benar.

Tidak ada komentar: